Gamophobia: Imbas dari budaya patriarki?
Menikah adalah salah satu cara untuk memperbanyak keturunan sesuai dengan tujuan awal kenapa ingin punya anak. Tapi jauh sebelum itu, sebenarnya ketika seseorang menikah, tujuan awalnya untuk apa sih? Apa cuma buat pajangan status biar ga di tanya kapan nikah? Atau untuk bisa menghindar dari yang namanya perzinahan?
Sebetulnya tujuan seseorang menikah tidak sesederhana itu, apalagi makna menikah sendiri itu komplek. Umumnya selain ingin memiliki anak dan memperbanyak keturunan, tujuan menikah pun bisa berbeda tergantung dari perspektif mana. Dalam pandangan psikologi untuk memperoleh ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, perlindungan. Sedangkan dalam agama Islam, menikah ialah sunah nabi yang menjadi suri tauladan umatnya. Selain itu, menikah juga bertujuan untuk menanamkan kebahagiaan, membina rasa kasih dan sayang, mentaati perintah Allah, bentuk penyaluran hasrat seksual yang telah Allah ridhai. Dan pada intinya, dalam segala perspektif tentang tujuan pernikahan, semuanya sama yakni agar hidup bahagia dan tentram.
Tapi, realitanya tidak semua orang yang sudah menikah, lantas dia bisa mencapai kebahagiaan itu.
Loh tau dari mana?
Dari sosial media. Karena kita hidup di zaman semua bergantung dengan teknologi. Segala sesuatu dipermudah dengan kecanggihan teknologi. Jadi jelas orang-orang bisa tau asam-pahitnya dunia pernikahan karena begitu mudahnya seseorang membagikan pengalaman pahitnya dalam berumah tangga, sehingga menjadi imitasi untuk orang lain yang nasibnya sama. Alhasil, menjadi sebuah berita yang dikonsumsi sehari-hari, apalagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang memakai sosial media mencapai 167 juta di tahun ini. Maka, wajar ga sih kalau sekarang istilah “takut menikah” sudah bukan hal yang tabu lagi.
Gambar jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia tahun 2023
Sumber : DataIndonesia.id
Gamophobia sendiri merupakan istilah psikolog yang merujuk pada seseorang yang takut terhadap komitmen jangka panjang, contohnya seperti pernikahan. Gamophobia sendiri penyebabnya adalah rasa trauma/fobia yang muncul karena trauma atau kegagalan hubungan di masa lalu, pengalaman masa kecil yang melihat orang tuanya tidak akur.
Wanita jika sudah punya fobia seperti itu, ini menjadi pro dan kontra sebenarnya. Ini tak lepas dari wanita yang seakan menjadi penilaian akhir dari sebuah peristiwa, semua nilai harus ada di diri mereka. Dari dulu, mereka diajarkan menjadi anak yang penurut, diajarkan ini-itu dari kecil, kemudian besar menjadi wanita yang mandiri bahkan menjadi tulang punggung yang sebenarnya fitrahnya adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung. Jadi ketika semua nilai harus dimiliki oleh wanita, pastilah itu menjadi satu kesatuan beban yang harus di tanggung untuk makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki rasa kasih sayang dan kelembutan hati, bak kuat mengangkat beban di luar, padahal aslinya begitu rapuh. Di tambah menerima luka dari masalah percintaan yang membuat hati semakin remuk dan berdampak pada memori dan trauma jangka panjang.
Yang kita dengar dan lihat, kebanyakan yang jadi korban percintaan yang tidak mulus, itu adalah dari pihak wanita. Pasangan cerai, yang dipandang negatif adalah wanita, yang di hamili sebelum nikah, yang menanggung malu bahkan meninggalkan jejak adalah wanita. Sehingga kalau menelaah lebih jauh, Gamophobia ini juga berhubungan dengan budaya patriarki di Indonesia. Budaya yang secara tidak langsung menjadikan seorang wanita seolah budak terhadap kendali laki-laki, maka hal ini menjadi penyebab banyak perempuan yang menjadi korban dan trauma, sehingga membuat mereka enggan memiliki komitmen untuk menikah.
Apalagi akhir-akhir ini semesta membuka keburukan laki-laki yang seolah mengisyaratkan bahwa dunia dan seisinya betul-betul tidak baik-baik saja. Seperti fenomena gunung es, apa yang tidak kita sangka rupanya betul-betul terjadi bahkan sampai membuat kepercayaan kita sebagai perempuan terhadap laki-laki menurun atau bahkan tak menaruh harapan dan kepercayaan itu sama sekali. Kita sekarang seolah ditunjukan bahwa hukum alam itu berlaku, bahwa budaya patriarki ini memang harus di tanggapi dengan bijak dan serius, terutama pada pemangku kepentingan yang memiliki kekuasaan atau previllage.
Wanita tidak sama dengan laki-laki, wanita dan laki-laki derajatnya sama, wanita juga punya hak yang sama dengan laki-laki. Yang membedakan adalah naluri atau fitrah. Fitrah perempuan adalah menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Ketika pola pikir mereka sudah terusik dengan fakta pahit yang harus mereka terima, mungkin secara tidak langsung, mereka telah melewatkan fitrah hamil sampai menyusui jika Gamophobia ini terus bersarang di memori. Melewatkan fitrah yang merupakan karunia serta nikmat yang dari situlah yang membuat wanita itu berbeda dari laki-laki.
Gamophobia meskipun akar dari permasalahan wanita di generasi alpha ini yang enggan untuk menikah, bukan berarti phobia itu tidak bisa dipangkas. Phobia apa pun bisa disembuhkan asalkan ada tekad dan niat dari kita untuk merubah pola pikir itu, merubah pola pikir pun juga tak semudah membalikan telapak tangan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir seseorang, yaitu lingkungan keluarga, pergaulan, pendidikan dan kepercayaan.
Ada istilah Law of Attraction, di mana istilah tersebut ialah hukum tarik menarik yang berasal dari pikiran kita. Bahwa apa yang kita pikirkan, itulah yang akan terjadi. Ketika seorang wanita enggan menikah karena takut mengalami kejadian seperti kegagalan rumah tangga orang lain, itu merupakan sebuah pemikiran negatif yang jika diterapkan lebih dalam menjadi suatu energi negative yang akhirnya akan membuat dirinya sulit menemukan seseorang yang baik, padahal tidak semua laki-laki itu buruk.
Tapi point of view nya adalah bagaimana wanita menyikapi fenomena ini dan mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya. Jika wanita itu merasa tidak menikah dia merasa bahagia, why not. Karena yang tau kelemahan, kelebihan, emosional dan kemampuan itu ya diri kita sendiri. Ketika wanita sudah dewasa, dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak untuk dirinya, dia secara langsung sudah memiliki komitmen untuk hidupnya ke depan dan tidak akan mudah terpengaruh dengan desas-desus atau fenomena kehidupan zaman sekarang.
So, belajar dari stereotipe, lingkungan, atau budaya yang terus mendikte secara tidak subjektif mengenai posisi serta peran wanita di masyarakat yang berpengaruh terhadap keberlangsungan hidupnya ke depan, penting untuk menjadi wanita yang high value, tangguh, mandiri dan punya komitmen serta tujuan hidup yang jelas. Bukan berarti penerapan itu ingin melemahkan laki-laki, tetapi kita sebagai perempuan hanya ingin hidup setara dengan laki-laki, tentram tanpa harus dibuntuti bayang-bayang bahwa perempuan tidak bisa apa-apa tanpa laki-laki. Karena di zaman ini, mudah bagi wanita untuk hancur karena tidak memiliki modal untuk menaikan derajat dan menjaga martabatnya sendiri, ingin hidup bahagia tapi salah aturan jika bahagianya digadaikan dan digantungkan kepada laki-laki.
Maka carilah laki-laki yang dapat menyeimbangkan kemandirianmu, yang bukan hanya menerima kekurangan tapi juga memahamimu bahwa kamu ingin menjadi wanita yang tangguh dan mandiri artinya bukan tidak butuh laki-laki, tapi agar kita bisa berdiri sendiri dalam kondisi dan situasi apa pun untuk menghindari korban “wanita” selanjutnya.